Rabu, 13 Juni 2012

Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)


Seperti kutipan, di The Washington Post edisi 28 April 2001 yang berbunyi : “. . . . if there is one lesson in the past half century of economic development, it is that natural resources do not power economies, human resources do” (jika ada pelajaran selama setengah abad yang lalu mengenai perkembangan ekonomi adalah bahwa sumber daya alam tidak menggerakkan ekonomi; sumber daya manusia yang melakukan itu). Maka dari itu pengembangan SDM mutlak perlu, agar dapat memanfaatan SDA yang ada dan tidak hanya tergantung pada keahlian atau pengetahuan SDM asing. Presiden Nyrere pernah mengungkapkan, alih teknologi merupakan kewajiban hukum dari negara maju ke negara berkembang; jadi bukan atas dasar belas kasihan. Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights sendiri menekankan sistem HaKI dimaksudkan untuk “contribute to the promotion of technology, to the mutual advantage of producers and users of technological knowledge and in a manner conductive to social and economic welfare, and to a balance of rights and obligations”.

Modal intellectual capital akan menjadi lebih penting dan strategis fungsinya, bila dibandingkan dengan physical capital, yang sebelumnya menjadi sumber utama proses produk barang-barang konsumsi untuk kesejahteraan umat manusia. Intellectual capital dapat bergerak dan bersirkulasi dengan tingkat kekerapan sangat tinggi dalam arus perputaran modal dunia, khususnya di negaranegara maju. Ketika kemajuan teknologi begitu pesat dan pasar terus bertransformasi dalam tataran global dalam bentuk "transnational", diperlukanlah perangkat hukum untuk meningkatkan dan melindungi kepentingan investasi industri, budaya dan pasar. Dari sanalah, pada pertengahan tahun 1980-an, negara-negara yang tergabung dalam GATT/WTO bersepakat tentang aturan main IPR atau HAKI.

Salah satu butir World Intellectual Declaration yang dikeluarkan oleh Policy Advisory Commission World Intellectual Property Organization (“WIPO”), yang pada salah satu butirnya berbunyi : “Also in the context of development, efficient intellectual property systems are indispensable elements in securing investment in crucial sectors of national economies, particularly in developing countries and countries in transition.” Sementara itu, walaupun mempersoalkan tentang belum terdapatnya kesepakatan antara para akhli mengenai dampak langsung antara sistem HaKI yang baik dan peningkatan arus modal asing, Maskus menulis: ”Trade flows into large developing economies with significant capacities for imitation are restricted by weak IPRs. Adoption of the TRIPs standards bears the potential to raise their imports of technologically sophisticated goods by significant amounts”. Sedangkan Correa berkata: “…. It is very difficult to make a quantitative assessment of its likely economic impact. It is evident that the impact to the Agreement will significantly vary in accordance with the levels of economic and technological development o the countries concerned.” Secara historis, undang-undang mengenai HaKI pertama kali ada di Venice, Italia yang menyangkut masalah paten pada tahun 1470. Caxton, Galileo dan Guttenberg tercatat sebagai penemu-penemu yang muncul dalam kurun waktu tersebut dan mempunyai hak monopoli atas penemuan mereka. Hukum-hukum tentang paten tersebut kemudian diadopsi oleh kerajaan Inggris di jaman TUDOR tahun 1500-an dan kemudian lahir hukum mengenai paten pertama di Inggris yaitu Statute of Monopolies (1623). Amerika Serikat baru mempunyai undang-undang paten tahun 1791.

Upaya harmonisasi dalam bidang HaKI pertama kali terjadi tahun 1883 dengan lahirnya Paris Convention untuk masalah paten, merek dagang dan desain. Kemudian Berne Convention 1886 untuk masalah copyright atau hak cipta. Tujuan dari konvensi-konvensi tersebut antara lain standarisasi, pembahasan masalah baru, tukar menukar informasi, perlindungan mimimum dan prosedur mendapatkan hak. Kedua konvensi itu kemudian membentuk biro administratif bernama the United International Bureau for the Protection of Intellectual Property yang kemudian dikenal dengan nama World Intellectual Property Organisation (WIPO). WIPO kemudian menjadi badan administratif khusus di bawah PBB yang menangani masalah HaKI anggota PBB. Pada kesempatan yang berlainan diselenggarakan perundingan di Uruguay (Uruguay Round) disponsori oleh Amerika yang membahas tarif dan perdagangan dunia yang kemudian melahirkan kesepakatan mengenai tarif dan perdagangan GATT (1994) dan kemudian melahirkan World Trade Organisation (WTO).

Kemudian terjadi kesepakatan antara WIPO dan WTO dimana WTO mengadopsi peraturan mengenai HaKI dari WIPO yang kemudian dikaitkan dengan masalah perdagangan dan tarif dalam perjanjian Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) untuk diterapkan pada anggotanya. Indonesia sebagai anggota WTO telah meratifikasi perjanjian tersebut tahun 1995. Perbedaan antara WIPO dan WTO yang cukup penting antara lain adalah pendekatan dalam penyelesaian sengketa. Jika di WIPO, a dispute among private companies is treated as a dispute among them sedangkan di WTO a dispute among private companies is (can be) treated as a dispute among their countries. Sehingga di dalam TRIPs sengketa dagang antar perusahaan dapat diambil alih oleh negara yang bersangkutan dan WTO berhak menjatuhkan sangsi berdasarkan argumentasi negaranegara yang bersengketa.

Pada tahun 1994, Indonesia masuk sebagai anggota WTO (World Trade Organization) dengan meratifikasi hasil Putaran Uruguay yaitu Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Salah satu bagian penting dari Persetujuan WTO adalah Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade In Counterfeit Goods (TRIPs). Sejalan dengan TRIPs, Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi konvensi Internasional di bidang HaKI, yaitu:

  • Paris Convention for the protection of Industrial Property and Convention Establishing the World Intellectual Property Organizations, dengan Keppres No. 15 Tahun 1997 tentang perubahan Keppres No. 24 Tahun 1979
  • Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under the PCT, dengan Keppres No. 16 Tahun 1997
  • Trademark Law Treaty (TML) dengan Keppres No. 17 Tahun 1997
  • Bern Convention.for the Protection of Literary and Artistic Works dengan Keppres No. 18 Tahun       1997
  • WIPO Copyrights Treaty (WCT) dengan KeppresNo. 19 Tahun 1997

Hak eksklusif yang diberikan Negara kepada individu pelaku HaKI (inventor, pencipta, pendesain dan sebagainya) tiada lain dimaksudkan sebagai penghargaan atas hasil karya dan agar orang lain terangsang untuk dapat lebih lanjut mengembangkannya lagi Di samping itu sistem HaKI menunjang diadakannya sistem dokumentasi yang baik atas segala bentuk kreativitas manusia sehingga kemungkinan dihasilkannya teknologi atau hasil karya lainnya yang sama dapat dihindarkan/dicegah. Dengan dukungan dokumentasi yang baik tersebut, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkannya dengan maksimal untuk keperluan hidupnya atau mengembangkannya lebih lanjut untuk memberikan nilai tambah yang lebih tinggi lagi.

Untuk dapat mewujudkan HAKI sebagai basis pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Indonesia, maka diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:

  • Inventarisasi karya tradisional yang tergolong paten untuk dijadikan paten.
  • Untuk mencegah pencurian karya lokal yang umumnya masuk kategori paten sederhana dan penemuan-penemuan baru, perlu dilakukan dengan pembentukan dan pemberdayaan lembaga paten di daerah, dan juga pembentukan kantor manajemen HAKI di universitas-univesitas dan lembaga - lembaga penelitian.
  • Kantor-kantor paten di daerah, universitas maupun lembaga-lembaga penelitian perlu dilengkapi dengan sarana komputer dan internet yang memungkinkan penemuan atau karya intelektual atau tradisional di daerah langsung didaftarkan untuk segera memperoleh paten.
  • Membuat sistem on-line (lewat internet) database tentang aplikasi pengajuan paten, persetujuan paten, down-loading info, sampai melaksanakan transaksi otomatis di Direktorat Paten.
  • Memberikan otonomi pengelolaan anggaran dirjen HAKI lewat swadana.
  • Meningkatkan intensif bagi penemu paten, baik yang dari kalangan pemerintah maupun yang swasta.
  • Meningkatkan pemahaman hukum HAKI pada aparat hukum dan masyarakat.

Pelanggaran HAKI berupa pembajakan (piracy), pemalsuan dalam konteks Hak Cipta dan Merek Dagang (counterfeiting), pelanggaran hak paten (infringement) jelas merugikan secara signifikan bagi pelaku ekonomi, terutama akan melukai si pemilik sah atas hak intelektual tersebut. Begitupun konsumen dan mekanisme pasar yang sehat juga akan terganggu dengan adanya tindak pelanggaran HAKI. Keras dan tegasnya undang-undang ini bisa dirasakan dari ilustrasi yang disampaikan oleh Dr. Ahmad M.Ramli, S.H., M.H. Direktur Center of Cyber Law Studies Fakultas Hukum Unpad. "Berdasarkan UU Hak Cipta, pembajakan merupakan delik biasa. Artinya, jika saya memegang laptop dan polisi menduga software-nya palsu, polisi bisa memeriksa saya tanpa pengaduan. Begitu pula seorang penyanyi di atas panggung yang mengubah model 'lagu pop' menjadi 'dangdut' pun bisa ditangkap polisi,".

Menurut Prof Philip Griffith, sesungguhnya hak cipta dikedepankan pertama kali, untuk menciptakan balance antara beberapa kepentingan yang saling terkait dan berkonflik di seputar karya sastra. "Pertama, kepentingan penulisnya sendiri, yang pasti menganggap bahwa karya sastra adalah 'bagian dari dirinya' yang dimaterialisasikan. Lalu, hak penerbit untuk ikut mendapat keuntungan melalui jasanya mereproduksi karya sastra tersebut, dan ketiga hak masyarakat untuk menikmati karya sastra itu," tandasnya. Dari perspektif sosiologi hukum khususnya dalam ranah HAKI kesenian sebagai subsistem dari masyarakat pengguna HAKI terdapat tiga komponen dasar berbentuk segitiga (triangle), yakni komponen dasar tersebut satu sama lain saling berhubungan dan memengaruhi. Ketiga komponen itu adalah, peraturan-peraturan perundang-undangan (regulasi) termasuk di dalamnya sistem penegakan hukum (law enforcement) yang disiapkan untuk mengemban kebutuhan HAKI. Kedua, komponen seniman yang merupakan subjek hukum penyandang hak dan kewajiban atas HAKI. Sementara itu, yang ketiga, adalah komponen masyarakat penikmat karya para seniman.

Kewajiban setiap negara yang menandatangani kesepakatan perdagangan dunia untuk melaksanakan perjanjian TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) mulai 1 Januari 2000, hendaknya tidak dipandang sebagai beban. Pengalaman di sejumlah negara memperlihatkan, kreativitas dan daya saing masyarakat menunjukkan penegakan hukum HAKI turut mendorong investasi dan pengalihan teknologi secara cepat di suatu negara, serta merangsang daya saing masyarakat dan perusahaan setempat. Muhyiddin mengungkapkan, kemajuan industri dan teknologi Malaysia yang berlangsung cepat tak bisa dilepaskan dari komitmen pemerintah yang sejak awal menjunjung tinggi hak atas kekayaan intelektual (HAKI), dengan membuat seperangkat aturan hukum untuk menegakkannya. Salah satu wujud komitmen tersebut ialah dibentuknya task force khusus langsung di bawah Perdana Menteri untuk mengurusi soal HAKI, yang bukan hanya terdiri atas pejabat-pejabat pemerintah, namun juga para pemegang hak cipta, paten, dan merek.

Penyebab utama masih rendahnya tingkat pengajuan paten oleh peneliti Indonesia, yaitu antara lain:

  • Faktor masih relatif rendahnya insentif atau penghargaan atas karya penelitian oleh Pemerintah hingga pada akhirnya kurang memicu peneliti dalam menghasilkan karya ilmiah yang inovatif.
  • Porsi bidang riset teknologi senilai kurang dari 1% dari anggaran Pemerintah - amat jauh tertinggal dari rata-rata angka riset negara-negara industri maju umumnya - hanya akan mewariskan lingkungan yang tidak kondusif dalam menumbuhkan SDM yang berkualitas kemampuan ilmu yang tinggi.
  • Para peneliti juga sering kurang menyadari pentingnya perlindungan paten atas penemuannya.
  • Jarak lokasi tempat kerja peneliti yang tersebar di berbagai pelosok daerah menyebabkan pos pengeluaran biaya perjalanan untuk pengurusan paten menjadi hambatan tersendiri.

Di negara-negara Industri maju informasi dan pendaftaran paten telah ditampilkan pada web secara online. Singapura dengan proaktif telah menampilkan pangkalan data (data base) mengenai aplikasi pengajuan paten, persetujuan paten, downloading info, sampai melaksanakan transaksi otomatis secara on-line. Membaiknya peringkat Indonesia dari "Priority Watch List" menjadi negara yang dikategorikan "Watch List" berdasar pemantauan perlindungan atas Hak atas Kekayaan Intelektual PemerintahAmerika Serikat pada 1 Mei 2000 , bisa pula dijadikan sebagai salah satu pemicu guna lebih meningkatkan kinerja prestasi kalangan Peneliti Nasional dalam upaya menghargai karya cipta bangsa sendiri disamping karya cipta asing. Direktur Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) Depkeh, Achmad Zen Umar Purba menandaskan pentingnya pembudayaan HAKI dalam masyarakat. Masyarakat harus menyadari bahwa HAKI merupakan aset yang secara hukum berada dalam kewenangan penuh pemiliknya. Temuan yang sudah dijamin dengan HAKI-dalam bentuk paten atau hak cipta-tidak bisa diklaim lagi oleh pihak lain. "Masyarakat tradisional masih beranggapan, bahwa semakin banyak orang meniru karyanya akan semakin baik bagi dirinya. Ini hanya bisa dihilangkan dengan penumbuhan budaya HAKI. Karena akan disayangkan apabila sebuah temuan akhirnya diklaim pihak lain, termasuk orang asing gara-gara tidak dipatenkan," jelas Purba seusai menandatangani perjanjian kerja sama antara Ditjen HAKI dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Jakarta, di Tangerang.

Profesor Donald Knuth, salah satu pakar di bidang software dari Stanford University, memiliki banyak tulisan tentang hal ini. Dia mengatakan bahwa, ”Computer programs are as abstract as any algorithm can be”. Ketakutan atas pelanggaran HaKI, khususnya paten software ini, membuat larinya perusahaan dan programmer dari Amerika. Mereka pergi ke negara yang tidak mengakui paten software untuk melakukan penelitian, eksplorasi, dan mengembangkan inovasi-inovasi baru. Dalam hal ini pihak negara Amerika yang dirugikan. Itulah sebabnya banyak para peneliti dan akademisi software di Amerika anti terhadap paten software ini.

Alternatif lain terhadap perlindungan copyright yang terlalu berlebihan terhadap software mulai memunculkan gerakan free software, copyleft, dan open source. Gerakan copyleft merupakan gerakan anti terhadap copyright. Kata ”copyleft” sendiri merupakan pelesetan terhadap kata ”copyright”, dimana kata ”right” (yang diartikan sebagai kanan) digantikan dengan ”left” (yang diartikan sebagai kiri). Selain interpretasi sebagai kata arah pergerakan (kanan dan kiri), kata ”left” juga diartikan sebagai ”ditinggalkan” dimana karya yang copyleft tersebut harus ditinggalkan dalam bentuk sebelumnya dan tidak dapat diikutsertakan dalam copyright berikutnya. Gerakan free software dimotori oleh Richard Stallman dari MIT yang merasa bahwa software seharusnya bersifat ”free”. Kata ”free” ini sering membuat kebingungan banyak orang karena dalam
bahasa Inggris, kata ini memiliki arti dua; pertama. free yang berarti gratis (tidak bayar), dan kedua. free yang berarti bebas (berasal dari kata ”freedom”) . Stallman sebetulnya lebih memfokuskan kepada arti yang kedua, yaitu free sebagai freedom meskipun hampir semua implementasi free software adalah gratis. Di Indonesia, arti kedua ini diterjemahkan sebagai ”bebas”. Jadi ”free software” ini diterjemahkan menjadi ”software bebas”. Free software yang dikembangkan oleh free software movement ini dapat anda gunakan sesuka anda. Richard Stallman mengimplementasikan free software ini dalam bentuk software-software yang diberi nama GNU.

Undang-Undang Hak Cipta No. 19 tahun 2002 telah diumumkan di Lembaran Negara pada tanggal 29 Juli 2002. Undang-undang Hak Cipta yang baru ini mulai berlaku berlaku pada tanggal 29 Juli 2003. Undang-undang ini memuat beberapa ketentuan baru, antara lain, mengenai:

  • database merupakan salah satu Ciptaan yang dilindungi;
  • penggunaan alat apa pun baik melalui kabel maupun tanpa kabel, termasuk media internet, untuk pemutaran produk-produk cakram optik (optical disc) melalui media audio, media audiovisual dan/atau sarana telekomunikasi;
  • penyelesaian sengketa oleh Pengadilan Niaga, arbitrase, atau alternatif penyelesaian sengketa;
  • penetapan sementara pengadilan untuk mencegah kerugian lebih besar bagi pemegang hak;
  • batas waktu proses perkara perdata di bidang Hak Cipta dan Hak Terkait, baik di Pengadilan Niaga maupun di Mahkamah Agung;
  • pencantuman hak informasi manajemen elektronik dan sarana kontrol teknologi;
  • pencantuman mekanisme pengawasan dan perlindungan terhadap produk-produk yang menggunakan sarana produksi berteknologi tinggi;
  • ancaman pidana atas pelanggaran Hak Terkait;
  • ancaman pidana dan denda minimal;
  • ancaman pidana terhadap perbanyakan penggunaan Program Komputer untuk kepentingan komersial secara tidak sah dan melawan hukum. 

REFERENSI
A. Zen Umar Purba, Perlindungan Dan Penegakan Hukum Haki, Direktur Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual Departemen Kehakiman Dan Ham RI, Makassar, 20 November 2001.
_____, Hak Kekayaan Intelektual Dan Perjanjian Lisensi, Direktur Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual Departemen Kehakiman Dan Ham RI, Jakarta, November 2001.
_____, Peta Mutakhir Hak Kekayaan Intelektual Indonesia, Direktur Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual Departemen Kehakiman Dan Ham RI, Jakarta, 29 Januari 2002.
_____, Sistem Haki Nasional Dan Otonomi Daerah, Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual
Departemen Kehakiman Dan Ham RI, Manado, 18 Februari 2002.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar